Selasa, 19 Juli 2011

MENGEMBANGKAN KURIKULUM VISIONER

Perubahan Kurikulum suatu Tuntutan

Ilmu pengetahuan da teknologi berkembang begitu pesat.  Sementara di sisi lain, prioritas kebijakan nasional ikut berubah.  Begitu pun pola pembiayaan pendidikan serta kondisi sosial, termasuk perubahan pada tuntunan profesi serta kebutuhan dan keinginan pelanggan.

Semua ikut memberikan dorongan bagi penyelenggaraan pendidikan untuk selalu melakukan proses perbaikan, modifikasi, dan evaluasi pada kurikulum yang digunakan.  Permasalahannya  adalah bagaimana dan tindakan apa yang pertama diambil jika melakukan pengembangan kurikulum?

Di dalam proses pengendalian mutu, kurikulum merupakan perangkat yang sangat penting karena menjadi dasar untuk menjamin kompetensi keluaran dari proses pendidikan.  Kurikulum harus selalu diubah secara periodik untuk menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan pengguna dari waktu ke waktu.

Perubahan kurikulum, dalam arti pengembangan, tentu akan berdampak terhadap kesiapan sekolah dan guru untuk mengimplementasikan di depan kelas. Sebab, untuk melakukan perubahan, ada dua hal yang sangat mendasar dipahami oleh guru.

Pertama, pemahaman terhadap terhadap manajemen pengembangan kurikulum.
Dalam manajemen pengembangan kurikulum, guru dituntut memahami:
1).          Bagaimana definisi kurikulum dalam arti luas;
2).          Bagaimana mendesain dan mengembangkan kurikulum satuan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan stakeholder;
3).          Bagaimana penahapan pengembangannya;
4).          Apa yang menjadi output dari pengembangan kurikulum tersebut; dan
5).          Berbagai model pengembangan kurikulum.
                                                                                       
Kedua,  bagaimana menerapkan apa yang disebut total quality management (TQM) agar dapat memeberikan jaminan mutu.   Dengan begitu, tujuan untuk menghasilkan keluaran untuk kebutuhan dan kepuasan konsumen dengan peningkatan/perbaikan kualitas terus-menerus dapat dilakukan.


Mekanisme Pengembangan Kurikulum

Tahap pertama
penguasaan manajemen pengembangan kurikulum.

Seorang guru yang akan mengembangkan kurikulum dituntut menguasai manajemen pengembangan kurikulum.  Dalam mengembangkan kurikulum, setidaknya guru akan menemui delapan problem.  Pertama, bagaimana membatasi ruang lingkup atau keluasan materi.  Kedua, bagaimana mengaitkan relevansi materi dengan kompetensi yang dibutuhkan.  Ketiga, bagaimana memilih materi agar ada keseimbangan untuk peserta didik maju dan yang lamban belajar, keseimbangan antara tuntutan pembangunan daerah dan nasional.  Keempat, bagaimana mengintegrasikan materi yang satu dengan materi lainnya sehingga tidak terjadi duplikasi. Problem kelima, bagaimana mengurutkan materi dan kompetensi yang diperlukan.  Keenam, bagaimana agar materi atau kompetensi berkesinambungan dan berjenjang.  Ketujuh, bagaimana merealisasikan artikulasi materi atau kompetensi secara menyeluruh.  Terakhir, bagaimanakah materi atau kompetensi yang diberikan dapat menjangkau masa depan alias memiliki daya guna bagi kehidupan peserta didik.

Bandingkan kedelapan problem tersebut dengan Peraturan Mendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, khususnya pada bagian prinsip pengembangan kurikulum.  Namun, apabila guru hanya disodori buku panduan penyusunan kurikulum yang dibuat Badan Standard Nasional pendidikan (BSNP),  tanpa diberi pelatihan untuk mengembangkan kurikulum  tingkat satuan pendidikan, jelas guru akan bingung. Oleh karena itu, guru harus diberi pelatihan bagaimanakah langkah-langkah yang harus di lakukan untuk menyusun kurikulum sekolah itu sesuai prinsip-prinsip delapan problem pengembangan kurikulum.  Kemudian, pelatihan seyogianya diberikan oleh pakar kurikulum dari perguruan tinggi,  bukan oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan  (LPMP)  atau  dinas  pendidikan provinsi/kota/kabupaten, seperti yang tertuang dalam buku panduan penyusunan kurikulum terbitan BSNP.

Tahap kedua
Pemahaman cara pandang kurikulum.  Selama ini ada dua cara pandang kurikulum, yaitu kurikulum diartikan dalam arti sempit dan luas.

Cara pandang kurikulum dalam arti sempit adalah bahwa kurikulum hanya berupa struktur kurikulum atau sekumpulan daftar mata pelajaran yang harus diajarkan kepada peserta didik.  Adapun cara pandang kurikulum dalam arti  luas  adalah  bahwa kurikulum disamping berupa daftar kumpulan mata pelajaran,  juga harus diartikan sebagai kegiatan belajar dan sebagai pengalaman belajar peserta didik.

Jadi,  jika  guru  memandang  kurikulum  dalam  arti sempit,  mereka akan berpedoman secara ketat pada Garis Besar Program Pengajaran alias GBPP atau standar isi, bukan pada proses pembelajaran demi penguasaan kompetensi yang dibutuhkan oleh peserta didik.  Orientasi  pembelajarannya pun akan didominasi guru.

Akibat  kurikulum dipahami dalam  arti  sempit,  yang  terjadi  adalah  pencapaian target penyelesaian  dengan domain kognitif semata.   Tentunya cara pandang kurikulum  yang demikian  akan cocok jika tujuan akhirnya adalah semata-mata untuk  memperoleh  nilai  baik  dalam Ujian Nasional  (UN).   Padahal,  dalam Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006  tentang  Standar Kompetensi  Lulusan  (SKL) dikatakan bahawa SKL digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan.
Berbeda dengan cara pandang kurikulum dalam arti luas.   Cara pandang  ini menuntut kreativitas guru,  mengaitkan  perilakunya di  depan kelas dengan konteks pembelajaran yang menjadi pengalaman dan dibutuhkan  oleh  peserta  didik  sehingga orientasi  pembelajarannya berpusat pada peserta didik.

Literatur menunjukan,  ada  banyak  metode/cara  pendekatan yang telah dikembangkan untuk pembuatan,  perbaikan,  dan  modifikasi kurikulum.  Metode tersebut  sebagian bersifat heuristik,  yang lainnya bersifat analitis.

Sulit untuk mengatakan bahwa metode yang satu lebih efektif dan lebih mudah digunakan dibandingkan yang lain.  Perkembangan yang cepat pada ilmu pengetahuan  dan teknologi serta berbagai persoalan yang membutuhkan penyelesaian antar disiplin ilmu menambah kesulitan untuk merancang  atau mengembangkan  suatu kurikulum yang efektif.   Prosedur dan  perangkat  proses pembuatan dan pengembangan kurikulum,  seperti yang telah diuraikan dalam  delapan problem pengembangan  kurikulum  di atas  mencoba  mengurangi  kesulitan tersebut dengan langkah-langkah atau tahapan-tahapan yang logis.

Hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa cara tersebut bukanlah resep siap pakai untuk membuat atau mengembangkan  kurikulum.   Delapan problem pengembangan kurikulum di atas harus dipandang  sebagai penahapan agar suatu proses dapat dijalankan dan diikuti.   Dengan begitu proses penjaminan mutunya lebih mudah.

Fleksibilitas dan adaptabilitas (adaptability)  akan membuat penahapan ini menjadi berguna  bagi  pihak yang  peduli  akan  pengembangan  kurikulum yang  bermutu.  Oleh  karena  itu,  pada  kedua tahab  itulah  letak pentingnya manajemen  pengembangan kurikulum yang harus dikuasai oleh guru.

Tahab ketiga,  yang tidak kalah penting adalah  penguasaan TQM.   Pada tahab ini, penerapan  TQM  memberikan  tujuan  untuk  menghasilkan keluaran untuk kebutuhan dan kepuasan konsumen dengan perbaikan kualitas terus menurus terhadap kurikulum tingkat satuan pendidikan alias kurikulum sekolah.
Proses perbaikan tersebut melibatkan tersebut melibatkan semua komponen pada sistem dengan menggunakan cara perbaikan yang saintifik, sistematis, serta mudah dipahami dan dapat dilakukan.

Mudah dimengerti kiranya bahwa untuk penerapan TQM tersebut sangat diperlukan riset konsumen.  Riset ini digunakan sebagai landasan untuk pembuatan, perbaikan atau modifikasi dari setiap komponen atau perangkat yang berpengaruh terhadap proses maupun penyesuaian yang diperlukan pada sisi masukan maupun pemasok.

Penerapan jaminan mutu dalam sistem pendidikan saat ini sudah menjadi kaharusan, sesuai tuntutan dan kebutuhan para pemangku kepentingan pendidikan.  Gerakan mutu secara luas dan mendalam telah banyak dikembangkan dan dipraktikan pada dunia industri untuk sistem produksi.  Walaupun harus diakui bahwa sistem pendidikan jauh lebih kompleks dibandingkan dengan sistem produksi.

Oleh sebab itu, setelah guru mampu mengembangkan kurikulum, tentunya diperlukan verifikasi/validasi secara terus-menerus agar materi yang dikembangkan selalu up to date untuk kebutuhan pasar.  Di sinilah letak pentingnya pemahaman TQM oleh guru agar selalu mampu melakukan plan, do, check, action, (PDCA) agar kurikulum sekolah yang telah tersusun menjadi kurikulum yang visioner.


Daftar Pustaka:

      Surjanto budiwalujo, Guru SMK YP 17-1 Madiun, Mengembangkan Kurikulum Visioner, HTML Internet, Downloand 15/03/2007
         Estu Retnaningtyas, Standarsasi Mutu Pendidikan, Artikel HTML Internet, Download 15/03/2007
         Prof. Dr. Suyanto, Ph.Dd, Membangun Sekolah Yang Efektif di Era Otonomi Daerah, HTML Internet, Download 15/03/2007
  • Panduan KTSP- Subdit Pembelajaran Direktorat Pembinaan SMK-2006

Sabtu, 16 Juli 2011

CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING

Rasional
Proses belajar dilakukan manusia sejak dilahirkan. Pada saat pertama kali lahir dia harus belajar “netek” dengan berjuang menyesuaikan besaran mulut dengan volume puting ibunya. Dia juga harus melalui belajar berkomunikasi dengan lingkungan dengan menangis yang berbeda-beda nadanya. Untuk selanjutnya dia tiada hari tanpa melalui proses belajar untuk dapat hidup. Mulai dari merangkak, berjalan, belajar berbicara, belajar makan sendiri, belajar mandi, belajar bersepeda dan sebagainya.
Namun sayang,  saat memasuki bangku sekolah si manusia tidak lagi melalui hari-harinya dengan belajar untuk hidup. Setelah si manusia bisa belajar membaca dan menulis untuk selanjutnya hanyalah dilalui dengan belajar menghafalkan, menghafalkan, dan menghafalkan. Sebenarnya kita tahu bahwa kemampuan menghafalkan memang dibutuhkan dalam kehidupan, namun itu sangatlah sedikit.
Untuk mengembalikan roh belajar itu sendiri, maka perlu diciptakan model pembelajaran yang lebih mendekatkan siswa kepada hidup dan kehidupan nyata di masyarakat atau lebih dikenal dengan nama CTL (Contextual Teaching and Learning).

Pengertian CTL
CTL merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.

CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
Dalam CTL diperlukan sebuah pendekatan yang lebih memberdayakan siswa dengan harapan siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan dalam benak mereka, bukan menghafalkan fakta. Disamping itu siswa belajar melalui mengalami bukan menghafal, mengingat pengetahuan bukan sebuah perangkat fakta dan konsep yang siap diterima akan tetapi sesuatu yang harus dikonstruksi oleh siswa. Dengan rasional tersebut pengetahuan selalu berubah sesuai dengan perkembangan jaman.

Pemikiran Tentang Belajar

  • Proses belajar anak dalam belajar dari mengalami sendiri, mengkonstruksi pengetahuan, kemudian   memberi makna pada pengetahuan itu. 
  • Transfer belajar; anak harus tahu makna belajar dan menggunakan pengetahuan serta ketrampilan yang diperolehnya untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya.
  • Siswa sebagai pembelajar; tugas guru mengatur strategi belajar dan membantu menghubungkan   pengetahuan lama dengan pengetahuan baru, kemudian memfasilitasi kegiatan belajar. 
  • Pentingnya lingkungan belajar; siswa bekerja dan belajar secara di panggung guru mengarahkan dari dekat.

Komponen Pembelajaran yang Efektif
Beberapa komponen pembelajaran yang perlu diterapkan dalam menciptakan pembelajaran yang efektif, adalah:

Konstruktivisme, konsep ini yang menuntut siswa untuk menyusun dan membangun makna atas pengalaman baru yang didasarkan pada pengetahuan tertentu. Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Strategi pemerolehan pengetahuan lebih diutamakan dibandingkan dengan seberapa banyak siswa mendapatkan dari atau mengingat pengetahuan. 

Tanya jawab, dalam konsep ini kegiatan tanya jawab yang dilakukan baik oleh guru maupun oleh siswa. Pertanyaan guru digunakan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara kritis dan mengevaluasi cara berpikir siswa, seangkan pertanyaan siswa merupakan wujud keingintahuan. Tanya jawab dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.

Inkuiri, merupakan siklus proses dalam membangun pengetahuan/ konsep yang bermula dari melakukan observasi, bertanya, investigasi, analisis, kemudian membangun teori atau konsep. Siklus inkuiri meliputi; observasi, tanya jawab, hipoteis, pengumpulan data, analisis data, kemudian disimpulkan.

Komunitas belajar, adalah kelompok belajar atau komunitas yang berfungsi sebagai wadah komunikasi untuk berbagi pengalaman dan gagasan. Prakteknya dapat berwujud dalam; pembentukan kelompok kecil atau kelompok besar serta mendatangkan ahli ke kelas, bekerja dengan kelas sederajat, bekerja dengan kelas di atasnya, beekrja dengan masyarakat.

Pemodelan, dalam konsep ini kegiatan mendemontrasikan suatu kinerja agar siswa dapat mencontoh, belajr atau melakukan sesuatu sesuai dengan model yang diberikan. Guru memberi model tentang how to learn (cara belajar) dan guru bukan satu-satunya model dapat diambil dari siswa berprestasi atau melalui media cetak dan elektronik.

Refleksi, yaitu melihat kembali atau merespon suatu kejadian, kegiatan dan pengalaman yang bertujuan untuk mengidentifikasi hal yang sudah diketahui, dan hal yang belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan. Adapun realisasinya adalah; pertanyaan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, catatan dan jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran pada hari itu, diskusi dan hasil karya.

Penilaian otentik, prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian otentik adalah pada; pembelajaran seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhr periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa.

Penerapan CTL dalam pembelajaran
Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan engkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru. Lakukan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua toipik. Kembangkan sifat keingin tahuan siswa dengan cara bertanya. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok). Hadirkan model sebagai contoh dalam pembelajaran. Lakukan refleksi pada akhir pertemuan. Lakukan penilaian otentik yang betul-betul menunjukkan kemampuan siswa.

Selasa, 12 Juli 2011

URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER DAN BUDAYA BANGSA

Belakangan ini, nurani kita digelisahkan oleh maraknya aksi kekerasan yang terjadi di berbagai lapis dan lini masyarakat. Aksi-aksi vandalisme dan premanisme dengan berbagai macam bentuk dan variannya (nyaris) menjadi fenomena tragis yang gampang kita saksikan di atas panggungsosial negeri ini. Perkara-perkara sepele yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cara yang arif dan dewasa tak jarang dituntaskan di atas ladang kekerasan yang berbuntut darah dan air mata. Dalam keadaan semacam itu, nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi yang dulu dimuliakan dan diagung-agungkan sebagai karakter dan jatidiri bangsa seperti telah memfosil ke dalam ceruk peradaban.

Kekerasan agaknya telah menjadi “budaya baru” di negeri ini. Jalan penyelesaian masalah berbasiskan kejernihan nurani dan kepekaan akal budi telah tertutup oleh barikade keangkuhan dan kemunafikan. Okol lebih dikedepankan ketimbang akal. Tawuran antarkampung berujung maut gampang membara hanya gara-gara senggolan dalam pentas dangdut. Bentrok antara petugas Satpol PP dan warga tak terelakkan hanya lantaran kesalahpahaman. Ormas berbasis primordialisme sempit pun tak jarang ambil peran membuat keributan dan keresahan warga di ranah publik. Belum lagi aksi para preman yang mempertontonkan tindakan fasis dan brutal di tengah-tengah keramaian penduduk. Pembakaran, perusakan, dan penganiayaan pun marak terjadi di berbagai tempat. Budaya kekerasan agaknya benar-benar telah berada pada titik nazir peradaban, sehingga menenggelamkan karakter “genuine” bangsa ini yang telah lama ditahbiskan sebagai bangsa yang cinta damai, santun, ramah, dan berperadaban tinggi.

Yang menyedihkan,budaya kekerasan dinilai juga telah bergeser ke dalam ranah dunia pendidikan kita. Lihat saja perilaku pelajar kita belakangan ini! Tas yang mereka tenteng ke sekolah bukannya sarat dengan buku-buku teks bermutu, tetapi penuh dengan benda tajam. Gunting, obeng, tang, belati, atau benda-benda tumpul lainnya tak jarang memenuhi tas mereka. Bukan untuk praktik keterampilan vokasional, melainkan untuk “memuaskan” naluri dan budaya agresivitas mereka. Persoalan pribadi antarpelajar sering kali membesar menjadi pertaruhan gengsi dan nama baik sekolah, sehingga tawuran massal antarpelajar tak bisa dihindarkan. Mereka tidak lagi mempertontonkan kesantunan dan kearifan dalam melakukan rivalitas di bidang keilmuan dan intelektual, tetapi bersaing memperlihatkan kepiawaian memainkan pentungan dan senjata tajam. Kaum remaja-pelajar kita, khususnya yang hidup di kota-kota besar, tidak lagi akrab dengan nilai-nilai kearifan dan keluhuran budi, tetapi lebih suka menggaulikekerasan, pesta, dan seks bebas.

Marginalisasi Nilai Kemanusiaan

Maraknya perilaku anomali sosial di kalangan kaum remaja-pelajar kita belakangan ini sejatinya tidak lahir begitu saja. Ia lahir di tengah situasi peradaban yang dinilai makin abai terhadap persoalan-persoalan moral dan budi pekerti. Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi barikade yang kokoh untuk membentengi para pelajar dari gerusan aksi kekerasan dan vandalisme dinilai telah mengalami kemandulan. Pendidikan tidak diarahkan untuk “memanusiakan manusia” secara utuh dan paripurna, tetapi lebih diorientasikan untuk mempertahankan jargon dan kepentingan kekuasaan semata. Pendidikan karakter yang notabene bisa dioptimalkan sebagai media yang strategis untuk mengembangkan, menyuburkan, dan mengakarkan nilai-nilai keluhuran budi dan kemanusiaan justru dikebiri dan disingkirkan melalui proses pendidikan yang serba dogmatis, indoktrinatif, dan instruksional. Selama mengikuti proses pendidikan, anak-anak bangsa negeri ini hanya sekadar menjadi objek dan “tong sampah” ilmu pengetahuan yang serba pendiam dan penurut, sehingga kehilangan daya kreatif dan sikap kritis.

Dalam pandangan (almarhum) Rama Mangunwijaya (PascaIndonesia, PascaEinstein, 1999), dunia persekolahan kita tidak mengajak anak didik untuk berpikir eksploratif dan kreatif. Seluruh suasana pembelajaran yang dibangun adalah penghafalan, tanpa pengertian yang memadai. Adapun bertanya – apalagi berpikir kritis– adalah tabu. Siswa tidak dididik, tetapi di-drill, dilatih, ditatar, dibekuk agar menjadi penurut, tidak jauh berbeda dari pelatihan binatang-binatang “pintar dan terampil” dalam sirkus.
Suasana pembelajaran yang “salah urus” semacam itu, demikian Mangunwijaya, telah membuat cakrawala berpikir peserta didik menyempit dan mengarah pada sikap-sikap fasisme, bahkan menyuburkan mental penyamun/perompak/penggusur yang menghambat kemajuan bangsa. Erat berhubungan dengan itu, timbullah suatu ketidakwajaran dalam relasi sikap terhadap kebenaran. Mental membual, berbohong, bersemu, berbedak, dan bertopeng, seolah-olah semakin  meracuni kehidupan kultural bangsa. Kemunafikan merajalela. Kejujuran dan kewajaran dikalahkan. Keserasian antara yang dikatakan dan yang dikerjakan semakin timpang. Sikap-sikap fasis yang menafikan keluhuran akal budi tampaknya sudah menjadi fenomena yang mewabah dalam masyarakat kita.

Aksi-aksi kekerasan makin marak terjadi ketika selubung reformasi terbuka pada tahun 1998. Setiap orang merasa mendapatkan angin segar untuk menuntaskan kebebasan yang selama ini terpasung. Seperti terbebas dari sekapan rezim yang represif dan menekan, warga masyarakat terbuai dalam euforia reformasi yang memungkinkan mereka bebas berbuat dan berkehendak sesuai dengan selera dan kepentingannya. Ruang-ruang publik pun jadi ingar-bingar. Pada titik peristiwa dan momen tertentu, ratusan, bahkan ribuan massa mengusung slogan-slogan demonstratif dan meneriakkan yel-yel tertentu untuk membakar emosi massa.

Sejauh tidak diikuti dengan tindakan anarkhi, brutal, atau destruktif, gerakan demonstrasisecara besar-besaran dan masif sekalipun masih bisa ditolerir dan dimaklumi. Bentuk-bentuk penyampaian pendapat di muka umum seperti itu tetap perlu dihormati dan dihargai sebagai hak setiap warga negara untuk mengekspresikan aspirasinya. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa demonstrasi yang berlangsung pasca-reformasi tak jarang diwarnai dengan perilaku bakar-bakaran, perusakan, vulgar, dan destruktif. Bahkan, fasilitas-fasilitas publik yang telah dibangun dengan susah-payah pun sering jadi sasaran amuk dan amarah. Nilai-nilaikesantunan, keramahan, dan kearifan telah menguap dan berubah menjadi sikap-sikap kanibal yang menodai keluhuran budi manusia sebagai makhluk yang bermartabat.

Tiga belas tahun era reformasi bergulir, negeri ini bukannya mendapatkan jalan terang menuju bangsa yang beradab dan berbudaya, melainkan justru makin tersungkur ke dalam kubangan dekadensi moral dan involusi kultural. Bangsa ini menjadi demikian gampang kalap dan rentan terhadap konflik dan kekerasan. Jika kondisi semacam itu terus berlangsung, bukan tidak mungkin budaya kekerasan yang amat tidak menguntungkan bagi kemajuan peradaban bangsa itu makin mengakar dan mengilusumsum ke dalam jiwa dan kepribadian anak-anak bangsa. Dalam konteks demikian, sungguh tepat dan strategis apabila Kementerian Pendidikan Nasional(Kemdiknas) mengangkat tema “Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa” dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei yang lalu. Setidaknya, tema ini bisa menjadi “starting point” bagi dunia pendidikan kita untuk membangun peradaban bangsa di tengah kecamuk dan ancaman konflik dan kekerasanyang bisa meledak setiap saat di atas panggung kehidupan sosial masyarakat kita.

Agenda Besar

Meski demikian, tema strategis tersebut hanya akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika belaka jika tidak diimbangi dengan tindakan nyata dan serius untuk mengimplementasikannya dalam ranah pendidikan kita. Pengalaman menunjukkan, gagasan dan konsep pendidikan yang bagus sering terhenti pada aras wacana dan idealisme semata lantaran tidak menyentuh hingga ke tahap implementasi dan aplikasi. Integrasi nilai keimanan dan ketakwaan (Imtak) yang pernah digagas beberapa tahun yang silam, misalnya, cenderung hanya sebatas menjadi kajian dalam forum-forum lomba, diskusi, dan seminar belaka, lantaran tak ada “kemauan politik” semua pihak untuk mewujudkannya secara nyata dalam dunia pendidikan kita. Terkait dengan persoalan tersebut, pendidikan karakter yang digagas oleh pemerintah untuk membangun peradaban bangsa, perlu dijadikan sebagai agenda besar dengan melibatkan segenap pemangku kepentingan pendidikan untuk mengimplementasikannya secara baik dan benar ke dalam dunia pendidikan kita.

Paling tidak, ada tiga hal penting dan urgen untuk diperhatikan agar agenda besar tersebut tidak terjebak menjadi slogan dan retorika belaka. Pertama, memberikan bekal pendidikan karakter kepada seluruh guru lintas-mata pelajaran sebagai bagian yang tak terpisahkan dariprofesionalisme guru secara simultan dan berkelanjutan. Dekadensi moral dan merosotnya nilai keluhuran budi di kalangan pelajar kita sudah ibarat tanggul jebol. Penanganannya tak cukup hanya diserahkan kepada guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan Agama saja, tetapi secara kolektif harus melibatkan semua guru lintas-mata pelajaran. Semuaguru dari berbagai jenjang satuan pendidikan perlu digembleng secara khusus melalui pelatihanintensif dengan lebih menekankan pada penguasaan substansi materi dan pendekatan-pendekatan inovatif agar penyemaian pendidikan karakter kepada siswa didik tidak kaku, monoton, dogmatis, dan indoktrinatif.

Kedua, jadikan pendidikan karakter sebagai salah satu kegiatan pengembangan diri di sekolah. Aktivitas pengembangan diri yang sudah diterapkan sejak Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) digulirkan empat tahun yang lalu, terbukti mampu menumbuhkembangkan bakat, minat, dan talenta siswa. Dalam suasana yang menarik, dialogis, interaktif, dan terbuka,siswa didik bisa diajak bercurah pikir, berdebat, dan mendemonstrasikan nilai-nilai pendidikan karakter ke dalam kegiatan pengembangan diri. Mereka perlu diberikan ruang dan “mimbar bebas” di luar jam pelajaran yang secara khusus didesain untuk menggembleng kepribadiandan jati diri siswa agar benar-benar menjadi sosok yang berkarakter. Hal ini jauh akan lebih efektif ketimbang menjadikan pendidikan karakter sebagai mata pelajaran tersendiri yang pada kenyataannya justru akan menimbulkan beban, baik buat guru maupun siswa, apalagi kalau disajikan dengan cara-cara yang cenderung menggurui dan dogmatis seperti orang berkhotbah.

Ketiga, menciptakan situasi lingkungan yang kondusif yang memungkinkan pendidikan karakter bisa bersemi dan mengakar dalam dunia pendidikan kita. Situasi kondusif bisa ditumbuhkan jika semua elite bangsa, tokoh-tokoh masyarakat, atau pemuka agama, yang dijadikan sebagai kiblat dan anutan sosial dalam bersikap dan bertingkah laku bisa saling bersinergi dengan memberikan keteladanan nyata di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pemerintah juga perlu segera melakukan “deteksi dan cegah dini” apabila ditemukan bibit-bibit konflik yang bisa mengarah dan memicu terjadinya aksi kekerasan. Media pun dituntut peran sertanya dengan memberikan sajian informasi dan hiburan yang mencerahkan, sehingga mampu memberikan imaji positif ke dalam ruang batin dan memori anak-anak tentang adanya nilai kesantunan, keramahan, kearifan, dan keluhuran budi.

Kita berharap, ada upaya serius untuk membumikan pendidikan karakter agar benar-benar bisa menjadi jalan pencerahan dalam mendesain peradaban yang lebih terhormat, bermartabat, dan berbudaya. Kita sudah amat lama merindukan lahirnya generasi masa depan yang cerdas, santun, bermoral, dan luhur budi.

PERBANDINGAN KURIKULUM PENDIDIKAN MALAYSIA DENGAN KURIKULUM PENDIDIKAN INDONESIA

Kurikulum merupakan suatu sistem, yaitu sistem kurikulum. Kurikulum juga merupakan subsistem dari sistem persekolahan, sistem pendidikan, dan sistem masyarakat. Sistem kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara menyusun kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi, dan menempurnakannya. Hasil dari suatu sistem kurikulum adalah tersusunnya suatu kurikulum dan fungsi kurikulum adalah bagaimana memelihara kurikulum agar tetap dinamis.

Untuk dapat mengevaluasi kurikulum, maka melihat kurikulum dari negara-negara lain perlu dilakukan untuk dapat membandingkannya dan kemudian menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam mengembangkan dan menyempurnakan kurikulum. Pada era otonomi sekolah seperti saat ini, sekolah dituntut untuk dapat mengembangkan kurikulum sendiri yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi daerah setempat dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Di sinilah guru dan warga sekolah dituntut untuk dapat mengambil sisi positif dari kurikulum  suatu sekolah lain atau bahkan kurikulum dari negara lain.

Pelajaran bahasa merupakan mata pelajaran yang selalu diberikan pada setiap jenjang dan jenis pendidikan di negara manapun. Di samping bahasa nasional, pada umumnya lembaga pendidikan mengajarkan bahasa lain berupa bahasa daerah atau bahasa asing terutama bahasa internasional.  Oleh karena itu, melalui tulisan ini akan ditinjau kurikulum pelajaran bahasa dengan asumsi tinjauan terhadap mata pelajaran tersebut dapat menjadi cermin bagi kurikulum pada mata pelajaran lain.

Malaysia sebagai negara yang relatif muda dengan kondisi sumber daya yang relatif sama dengan Indonesia dipandang oleh berbagai kalangan telah mengalami perubahan yang pesat. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari kesungguhan pemerintah dalam menangani masalah pendidikan, termasuk di dalamnya adalah masalah kurikulum. Uraian tentang “Kurikulum Bersepadu Sekolah Menengah Sukatan Pelajaran Bahasa Melayu” diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana kurikulum pendidikan di negara alaysia. Melalui kurikulum tersebut kita akan melihat bagaimana kompetensi, silabus, proses pembelajaran, dan reformasi apa yang telah dilakukan dalam hal kurikulum.

1.          Kompetensi
Menurut Permen nomor 23 tahun 2006, kompetensi adalah kemampuan bersikap, berpikir, dan bertindak secara konsisten sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimiliki peserta didik. Kurikulum berbasis kopetensi sebagaimana digunakan di Indonesia juga berlaku di Malaysia. Kurikulum berbasis kompetensi ini diadopsi dari negara-negara maju seperti Australia. Di Indonesia, mulai digunakan sejak tahun 2000 dengan nama Competency Based Curriculum (CBC) atau Competency Based Training (CBT) yang pada awalnya di terapkan di sekolah-sekolah kejuruan. Pada perkembangan selanjutnya diterapkan dalam semua jenis pendidikan dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Pada mata pelajaran bahasa Melayu, kompetensi pelajaran ternyata ada kesamaannya dengan kompetensi pada pelajaran bahasa Indonesia. Pada kurikulum bahasa Melayu disebutkan ada empat kompetensi, yaitu: kemahiran mendengar, kemahiran bertutur, kemahiran membaca, dan kemahiran menulis. Dalam bahasa Indonesia disebutkan  bahwa kompetensi pembelajaran bahasa Indonesia adalah keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Dengan dimilikinya keempat kompetensi tersebut pada peserta didik, maka tujuan pembelajaran berbahasa dikatakan tercapai.

Pembelajaran bahasa di sekolah menengah semestinya tidak ditekankan pada teori kebahasaan sebagaimana diterapkan pada kurikulum-kurikulum pendidikan di Indonesia sebelum tahun 1994. Pendekatan pembelajaran kebahasaan telah melahirkan siswa memiliki nilai tinggi dalam pelajaran bahasa namun sangat ironi karena tidak bisa menampilkan kebisaannya dalam berkomunikasi dengan bahasa yang diharapkan dalam hubungan bermasyarakat.
Kompetensi yang dirumuskan dalam kurikulum bahasa Melayu di Malaysia dan kurkulum bahasa Indonesia di Indonesia telah mengubah orientasi pembelajran tersebut. Siswa tidak hanya dituntut untuk menguasai teori kebahasaan, melainkan dituntut untuk menguasai keterampilan berkomunikasi dalam bentuk pasif berupa keterampilan menyimak dan membaca, serta bentuk aktif berupa keterampilan berbicara dan menulis.

2.         Silabus
Menurut Menurut Permen nomor 23 tahun 2006 siabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, Indikator,materi pokok/pembelajaran, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Jika definisi tersebut dituangkan dalam bentuk matriks, maka silabus dalam kurikulum Indonesia paling tidak terdiri atas delapan kolom. Dibandingkan dengan silabus pelajaran di Indonesia, silabus pelajaran bahasa Melayu dan pelajaran lain pada kurikulum Malaysia lebih simpel dan memberikan keleluasaan kepada guru untuk lebih berkreasi dan berinovasi dalam melaksanakan pembelajaran. Kurikulum bahasa Melayu hanya mengandung tiga kolom, yaitu: hasil pembelajaran, uraian hasil pembelajaran, dan aktivitas pembelajran.

Dengan silabus yang disediakan secara simpel tersebut guru dituntut untuk dapat merancang strategi pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa, kondisi ketersediaan sarana belajar, sehingga pembelajaran dapat lebih bervariasi, hidup, dan menyenangkan. Guru juga diberi keleluasaan untuk mencari dan menyusun bahan ajar yang lebih sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran. Guru juga diberi keleluasaan mengalokasikan waktu yang diperlukan pada setiap materi pelajaran sesuai dengan tingkat keluasan dan kedalaman materi pelajaran. Demikian juga cara melakukan evaluasi hasil belajar berbagai cara evaluasi mulai dari jenis tes seperti tes tulis, tes lisan, pengamatan, dan tes penampilan ditentukan sendiri oleh guru.

Pada kurikulum kita sebelum berlakunya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang sentralistik terasa sekali bahwa guru terikat dengan segala yang sudah ditetapkan oleh pusat sampai hal yang sangat keceil seperti metode apa yang harus digunakan, jenis penilaian, sumber atau bahan ajar, serta alokasi waktu. Namun dengan berlakunya KTSP, keterikatan guru sudah tidak ketat. Walaupun hal-hal tersebut sudah ditentukan dalam silabus, guru sendiri lah yang menentukannya.

3.          Proses Pembelajaran
Kurikulum Bahasa Melayu memadukan kemahiran bernilai tambah dan pembelajaran. Kemahiran bernilai tambah yang dimaksudkan ialah kemahiran berfikir, kemahiran teknologi dan komunikasi, kemahiran belajar cara belajar, kajian masa depan, kecerdasan pelbagai, pembelajaran konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual. Penjelasannya adalah seperti yang berikut:
a.     Kemahiran berfikir diberikan melalui pembelajaran melalui aktiviti yang memerlukan pemikiran kritis dan kreatif dalam aktiviti mendengar, bertutur, membaca, dan menulis.
b.         Kemahiran teknologi dan komunikasi menggunakan komputer untuk tujuan komunikasi seperti menghantar dan menerima e-mel, menggunakan aplikasi perisian dalam menyempurnakan tugasan harian, dan memperoleh maklumat yang terdapat dalam Internet.
c.      Kemahiran belajar cara belajar ialah penguasaan teknik belajar cara belajar yang dapat menanam sikap dan mengamalkan pembelajaran seumur hidup. Penguasaan kemahiran ini mengaktualisasi pengetahuan dan ketarampilan untuk menghadapi dunia yang selalu berubah.
d.       Kajian Masa depan  ialah satu pendekatan pembelajaran yang memungkinkan murid memahami  isu atau permasalahan pada masa lampau, masa kini, dan masa depan. Hal ini bermakna bagi murid untuk dapat membuat ramalan, serta mengendalikan perubahan supaya murid dapat manfaat yang maksimum.
e.  Kecerdasan pelbagai mencakup verbal-linguistik, logikmatematik, muzik, kinestetik, visual-ruang, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Oleh karena itu, guru perlu mengembangkan potensi kecerdasan murid dengan memanfaatkan model-model  pembelajaran yang sesuai dengan minat dan kecenderungan mereka karena setiap individu mempunyai kecerdasan yang berbeda.
f.   Pembelajaran konstruktivisme dalam pendidikan dapat melahirkan murid yang da mengembangkan  pemahaman dan pengetahuan baru mereka sendiri berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang ada. Pembelajaran ini menjadikan murid lebih paham, dan lebih yakin untuk belajar sepanjang hayat.
g.       Pembelajaran kontekstual ialah konsep pembelajaran yang mengaitkan isi pelajaran dengan pengalaman sehari-hari murid, dalam masyarakat dan alam sekitarnya. Dengan pembelajaran ini murid dikondisikan untuk berupaya menghubungkan pengetahuan baru secara bermakna dan menghayati relevensi pembelajaran dengan kehidupan mereka.

4.         Reformasi Kuriulum Malaysia
Reformasi yang terjadi pada kurikulum Malaysia adalah dapat terlihat pada proses pembelajarannya. Pelaksanaan pembelajaran kontekstual merupakan perubahan besar yang telah membawa perubahan besar pada paradigma pendidikan. Proses pembelajaran itu dapat disebut sebagai Kurikulum Berbasis Realita (KBR). Pendidikan sekolah dikembalikan kepada realitas dinamika masyarakat, dan bukan menjadi menara gading yang tercabut dari akar kehidupan masyarakat itu sendiri. Pendidikan sekolah bukan tempat untuk mengajarkan mimpi dan antirealitas kepada siswa didik, tetapi menjadi bagian yang sah dari realitas hidup masyarakat untuk mencari jawaban atas proses dialektik yang terus bergolak dalam kehidupan masyarakatnya.
Untuk mengubah paradigma pendidikan sekolah yang demikian telah dilakukan perubahan kebijakan yang radikal, dengan mengubah secara fundamental proses pendidikan. Tujuannya agar realitas kehidupan masyarakat dapat dipahami secara utuh, benar, dan tepat oleh siswa. Untuk bisa memahami realitas dengan baik, maka proses pembelajaran yang kreatif dan visioner mutlak dihadirkan. Selain itu, dunia pendidikan juga tidak boleh terjebak pada urusan birokrasi yang melelahkan dan tidak mencerdaskan.

Berkaitan dengan persoalan di atas, maka menggarap kurikulum berbasis realitas (KBR) mutlak perlu dipikirkan secara serius. KBR yang dimaksud bertujuan untuk memperkenalkan siswa didik pada suatu realitas ilmu yang dipelajarinya. KBR juga akan menantang para guru untuk semakin memiliki kompetensi dalam mengelola dan terus berkreatif menemukan metode belajar terbaik bagi siswa didiknya.

Sebagai contoh, melakukan studi wisata ke suatu kebun raya. Melalu kegiatan tersebut, guru biologi dapat dengan gamblang menjelaskan, selama ini siswa didik hanya mampu menghafal berbagai jenis tumbuh-tumbuhan mulai dari akar hingga ke ujung daunnya beserta manfaatnya masing-masing, tetapi ia tidak pernah melihat seperti apa sebenarnya bentuk tumbuhan tersebut. Sementara guru Sejarah menguraikan, melalui studi wisata diharapkan peserta didik mampu memahami sejarah didirikannya kebun raya tersebut pda masa lalu. Setelah nanti siswa mengetahui dan memahami sejarah kebun raya itu maka diharapkan rasa cinta siswa terhadap negeri yang kaya flora dan faunanya ini semakin bertambah. Guru Bahasa Indonesia menaruh harapan besar pada kemampuan peserta didik mempraktikan tata tulis bahasa Indonesia yang baik dan benar pada karya tulis yang dibuat sebagai laporan hasil studi wisata siswa tersebut.

Kesimpulan
Pada beberapa sisi terdapat kesamaan antara krikulum pendidikan Malaysia dengan kurikulum pendidikan di Indonesia. Kesamaan akan lebih terlihat jika kurikulum Malaysia dibandingkan dengan kurikulum Indonesia terkini yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kesamaan tersebut di antaranya dalam hal berbasis kompetensi (competency based curriculum), proses pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centre learning), dan pembelajaran kontekstual (contextual learning).